Selasa, 07 April 2009

Fenomena Syirik

HAKIKAT dan FENOMENA SYIRIK di DUNIA MODERN

Syirik termasuk persoalan bid’ah paling besar dalam kehidupan manusia yang perlu ditangani dengan sungguh-sungguh. Syirik bisa saja dilakukan oleh siapapun. Apabila seseorang menyekutukan Allah Swt dengan sesuatu makhluk-Nya, baik dengan sadar atau tidak, memiliki kepercayaan dan i’tikad dalam ubudiyah, uluhiyyah dan rububiyyah, maka ia telah berbuat syirik.
Dalam persoalan politik pun, manusia bisa saja berbuat syirik dengan cara mistifikasi politik, yaitu penyimpangan dalam permasalahan politik yang sebenarnya. Dimana persoalan politik yang bersifat rasional, zhahiriyyah, ikhtiyariyah dan taklifi (tindakan-tindakan amaliyah dan syar’i) menjadi tindakan yang misteri, pakem, kabur, teka-teki, penuh mitos dan takhayyul.
Proses mistifikasi dalam dunia politik menurut Kertzer (1988: 48), merupakan hal biasa sebagai upaya mengelabui realitas sosial guna menggalang dan mendulang dukungan politik seluas-luasnya. Bahkan Geertz (1977:168) mengatakan, “a world wholly demyistified is a world the politicised.” Artinya, tidak ada dunia politik yang tidak mengalami proses mistifikasi, entah di negara maju yang dikenal demokratis maupun di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang penuh mistis dan mitos.
Mistifikasi Politik di Indonesia; Dulu dan Sekarang
Dalam laporannya kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 D.A. Rinkes, penasehat urusan bumi putera, mengatakan bahwa umat Islam suka melakukan mistifikasi. Rinkers merujuk pada tersebarnya secara luas mistisisme dan aliran-aliran tarekat dan secara khusus ia merujuk pada mistifikasi politik SI (Sarekat Islam) yang pada waktu itu menjadi gerakan yang populer dengan mengangkat gerakan Hangabei dan mitos Ratu Adil. Karena
pada waktu itu, ketika SI menghadapi masalah ekonomi berupa persaingan dengan usahawan Cina, pemecahan politiknya ditempuh dengan mengangkat Pangeran Hangabei untuk menarik anggota. Dan ketika Tjokroami-noto memimpin SI menggantikan Haji Samanhudi, ia dipublikasikan dan dikultuskan sebagai “Ratu Adil”; juru selamat, sehingga menarik simpati orang-orang awam (Kuntowijoyo, 2001:342).
Selain kultus pribadi dengan mitos “Ratu Adil”, SI juga melakukan manuver politiknya dengan menggunakan sumpah. Pada awal SI berdiri tahun 1912 anggota SI mencapai 20.000 orang, hanya setengah tahun setelah berdiri. Mereka yang masuk SI disumpah setia pada organisasi dengan cara minum air dan berkata, “Saya ber-sumpah, jikalau saya cederai perjanjianku, air ini biar jadi racun dalam tubuhku.” Rupanya sumpah bagi mereka dengan “Demi Allah” tidak cukup, sedangkan dengan “minum air” terasa lebih kongkret dan lebih mudah mengingatkan.
Syirik modern dengan mistifikasi politik seperti gaya SI di atas, pada masa Orde Baru dan Reformasi ini masih saja dipraktekkan. Kita tahu bahwa Soeharto, untuk melanggengkan kekuasannya harus membeli dan mengumpulkan paranormal yang terbaik dari Banten sampai Solo. Kita masih ingat ketika pendukung fanatik Megawati berani “cap jempol darah” sebagai bentuk kesetiaan kepada Megawati. Gus Dur dipandang oleh pengikutnya sebagai wali atau “manusia setengah dewa”. Apapun julukannya, massa NU menganggap Gus Dur mutlak tidak mungkin salah, dan mereka tidak peduli dengan program dan platform PKB.
Dalam koran Kedaulatan Rakyat edisi 17 Juni 1999 M dimuat berita tentang pernyataan Bendahara Umum PKB bahwa untuk menghindari money politics terutama kecurangan dalam pemilihan presiden, anggota legislatif dari PKB akan disumpah (bai’at) oleh kyai agar tetap setia kepada garis-garis partai. PKB yakin bahwa sumpah demikian efektif. Siapa melanggar sumpah akan masuk neraka.
Selain sumpah dan kultus individu, PKB juga melakukan mistifikasi politik dengan pemanfatan para Kyai Langitan sebagai political broker, juga penggunaan jasa jin dalam suksesi politik dan pemilu.
Pemanfaatan Kyai dan Penggunaan Jasa Jin dalam Politik
Menurut sejarawan Saletore, peranan kyai (ulama) dalam struktur masyarakat muslim termasuk golongan elite politics, karena kyai sebagai penafsir hukum Tuhan. Selain itu, berkat pengetahuan agama, mereka dijadikan rujukan dan mitra politik bagi elit penguasa. Sosiolog Amerika yang pernah melakukan penelitian masyarakat muslim jawa, Clifford Geertz mengatakan bahwa kyai adalah cultural broker bagi masyarakatnya. Sebagai pemimpin spiritual yang selalu dimintai restu dan sebagai pemimpin masyarakat yang pendapatnya sebagai rujukan.
Berdasarkan tesis di atas maka dalam dunia politik Indonesia, peranan kyai menjadi political broker (makelar politik). Seorang calon presiden harus sowan dan minta restu dari para kyai. Artinya hubungan kyai dengan masyarakat adalah hubungan sacral, dan jika ditarik pada kepentingan politik menjadi persoalan ibadah wajib, hubungan publik menjadi hubungan personal. Ini adalah mistifikasi politik memanfaatkan karisma kyai untuk kepentingan politik. Hal ini terlihat dalam perilaku politik elit PKB dan NU. Bagaimana taatnya pengurus partai kepada pendapat Kyai Langitan yang pendapatnya didasarkan pada wangsit.
Rupanya penggunaan jasa jin untuk kepentingan pribadi dan umum sudah biasa dikalangan warga Nahdiyin. Banyak pesantren-pesantren NU yang memelihara jin sebagai khadam (pelayan). Menjelang Muktamar di Cipasung di akhir 1994, dengan bangga panitia mengatakan bahwa jin akan disuruh mengamankan Muktamar. Bahkan menjelang pemilu 1999, seorang elite PKB menyatakan bahwa jin akan diikutsertakan dalam pemantauan pemilu, agar jalannya pemungutan dan per-hitungan suara jurdil. Dan mereka akan ditempatkan di TPS-TPS. Kita tentu saja tidak tahu bagaimana cara kerja para jin yang mengemban tugas-tugas itu. Jelas ini adalah mistifikasi politik.
Mistifikasi Politik dalam Pemilu Presiden 2004
Berita ditemukannya emas yang bergambar mantan Presiden RI pertama Soekarno oleh seorang warga Bogor, diindikasikan oleh para pengamat mistik/paranormal akan bangkitnya “Satria Piningit” untuk memimpin bangsa ini. Apakah ini mistifikasi politik untuk menggiring masyarakat awam agar me-milih turunan Soekarno sebagai presiden?
Ketika Gus Dur ditanya kenapa ia sangat ingin terus maju menjadi presiden, Gus Dur selalu menjawab, saya disuruh kyai (para Kyai Khas). Siapakah para Kyai Khas ini? Selain itu, menurut berita diduga seorang calon presiden mempunyai klenik paranormal/dukun di rumahnya sebagai rujukan politiknya. Jelas semuanya ini adalah mistifikasi politik. Juga belakangan ini, maraknya kembali gerakan “cap jempol darah” dari pendukung Megawati-Hasyim mengarahkan adanya bai’at (sumpah setia) jahiliyyah.
Mistifikasi politik berarti mengalihkan permasalahan yang nyata, rasional dan terukur menjadi persoalan yang kabur, mitos, penuh misteri, khurafat dan takhayyul. Bukankah ini adalah bentuk syirik? Bukankah kultus individu terhadap elite adalah tradisi jahiliyah? Bukankah meminta bantuan kepada jin berdosa? Kata al-Qur’an, “Mereka hanya menambah dosa dan kesalahan manusia”. Demikian, wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar