Rabu, 17 November 2010
Senin, 03 Mei 2010
POLIGAMI DALAM ISLAM
Pendahuluan
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang brarti banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Mata ketika kedua kata ini digabungkan akn berarti suatu perkawinan yang banyak.
Kajian tentang poligami memang kajian yang cukup pelik, juga cukup alot, satu golongan menyatakan pro dengan alasan Nabi SAW sebagai juga penah berpoligami, dan golongan yang lain menyatakan sebaliknya dengan alasan yang melemahkan penentangnya. Dari sinilah timbul pertanyaan apakah poligami merupakan sunnah Rasul ataukah bukan?. Maka pada kesempatan kali ini kita berusaha memaparkan seluk-beluk pergulatan antara poligami dan monogami.
Lebih dari itu kami juga berupaya menjelaskan batas maksimal jumlah istri dalam pernikahan karena perbedaan dalam hal itu sangatlah signifikan. Kelompok pertama memegangi ketidakbolehan menikahi wanita lebih dari satu, kelompok kedua meyakini kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa menikahi wanita lebih dari empat pun diperbolehkan. Pendapat pertama umumnya dipegangi oleh pemikir Islam belakangan, seperti Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan lainnya, pendapat kedua umumnya dipegangi ulama salaf, dan pendapat terakhir tercatat sebagai pendapat yang dipegangi madzhab Dzahiri . Perbedaan tersebut diatas bukan tanpa berpikir, tapi sebaliknya hal itu sudah di pertimbangkan, dan dirumuskan masak-masak sesuai dalil tekstual dan kontekstual, beserta implikasinya masing-masing yang menuntut adanya pahala atau siksa. Maka sekaranglah saatnya kita mengkaji perbedaan-perbedan tersebut dan mengetahui yang mana yang paling sesuai dengan maqasid as-syariah, ketika suatu permasalahan sejalan dengan maqasid as-syariah maka itulah yang digariskan Islam dan itulah yang benar.
Pernikahan adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli, maka dari itulah wajar saja kalau masalah ini tak ada habis-habisnya untuk dikaji dan dikritisi.
Pembahasan Masalah
`
A.Pro dan Kontra Sekitar Poligami
Perbedaan yang telah kami utarakan diatas berpangkal dari perbedaan dalam menafsirkan Surat an-Nisa’: 3,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pendapat pertama menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai satu langkah antisipasi agar tidak menikah melebihi satu karena dikhawatirkan tidak adil dalam berpoligami. Pendapat kedua berdasarkan pada dzahirnya ayat tanpa menjumlahkan masing-masing bilangan pada ayat tersebut. Sedangkan pendapat ketiga dengan memandang dzahirnya lafal namun dengan menjumlahkan bilangan-bilangan pada ayat tersebut, maka menurut pendapat ini boleh menikahi wanita hingga semua berjumlah18, berasal dari 2+2+3+3+4+4.
Kini saatnya kita mengkaji materi yang menjadi fokus kita, hadits ahkam.
Kebanyakan orang menganggap poligami adalah tuntunan dari Rasul sebagai sunnah yang menjadi rujukan hukum juga pedoman hidup. Memang tidak mengherankan lagi karena haditsnya pun jelas sahih,
صحيح البخاري:4680 حدثنا مسدد حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه في ليلة واحدة وله تسع نسوة و قال لي خليفة حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة أن أنسا حدثهم عن النبي صلى الله عليه وسلم
صحيح البخارى:4679
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا هشام بن يو سف أن ابن جريج أخبرهم قال أخبرني عطاء قال حضرنا مع ابن عباس جنازة ميمونة بسرف فقال ابن عباس هذه زوجة النبي صلى الله عليه وسلم فإذا رفعتم نعشها فلا تزعزعوها ولا تزلزلوها وارفقوا فإنه كان عند النبي صلى الله عليه وسلم تسع كان يقسم لثمان ولا يقسم لواحدة
Arti matan:”Atha’ berkata: “Kami bersama Ibnu Abbas telah menghadiri jenazah maimunah di tanah sarif (tempat yang terkenal di luar Makkah), Ibnu Abbas berkata:”Beliau ini adalah istri Nabi, maka ketika kamu mengangkat kerandanya
Janganlah banyak bergerak,dan berguncang, tapi janganlah terlalu pelan dan jangan pula terlalu cepat. Nabi mempunyai sembilan istri, beliau memberi bagian tertentu untuk kedelapan istrinya kecuali istrinya yang satu””. Dalam fathul Bari dijelaskan bahwa isri tersebut adalah Saudah, dan ia memberikan bagian harinya pada Aisyah.
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa nabi mempunyai sembilan istri, beliau-beliau adalah سودة وعائشة وحفصة وأم سلمة وزينب بنت جحش وأم حبيبة وجويرية وصفية وميمونةNabi mempunyai kekhususan-kekhususan, diantaranya adalah bolehnya Nabi menikahi perempuan lebih dari empat, hal ini disebutkan Allah dalam Surat Al-Ahzab: 51-52. Keterangan ini idak terdapat dalam hadits, namun disebutkan dalam Fathul Bari, Syarih juga menambahi bahwa Nabi tidak terbebani kewajiban memberikan bagian untuk tiap-tiap istrinya, serta ulama berselisih tentang batas kuantitas istri Nabi.
Angapan seperti itu juga didukung denga hadits Nabi yang lain,
صحيح البخاري:4681
حدثنا علي بن الحكم الأنصاري حدثنا أبو عوانة عن رقبة عن طلحة اليامي عن سعيد بن جبير قال قال لي ابن عباس هل تزوجت قلت لا قال فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء
Arti matan:”Sa’id Bin Jubair berkata:”Ibnu Abbas bertanya padaku:”Apakah kamu sudah menikah?”. Aku menjawab:”Belum”. Ia Berkata:”Menikahlah, karena yang terbaik diantara umat ini adalah yang paling banyak istrinya””.
Hadits tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan melihat teksnya semata, secara dzahir maksud hadits tersebut adalah seperti diatas. Namun penjelasan dari Fathul Bari menghendaki lain, yaitu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan kata khair adalah Nabi, sedangkan kata hadzihi al-ummat adalah sahabat-sahabat beliau. Seakan-akan hadits ini memberikan isyarat bahwa tidak menikah adalah hal yang marjuh atau kalah, tidak terpakai (dan menganggap menikah, memperbanyak istri adalah rajih atau pendapat yag kuat). Mengapa hadits ini memakai ungkapan yang sulit dipahami?, hal ini dapat dijawab dengan ungkapan sebaliknya, yaitu apabila hadis tersebut mengungkapkan bahwa tidak menikah adalah perbuatan yang dihukumi rajih, maka akan dikhawatirkan terjadinya pengertian yang berbeda, yaitu menikah bukan sebagai sunnah Rasul, dan hal ini hal ini memutar-balikkan Fakta.
Melihat dzahirnya hadits, maka anggapan bahwa poligami adalah benar-benar sunnah Rasul semakin kuat, dan hal ini juga serupa dengan hadits yang lain yang terkesan pro dengan adanya poligami, مسند احمد:4380
حدثنا إسماعيل أخبرنا معمر عن الزهري عن سالم عن أبيه أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وتحته عشر نسوة فقال له النبي صلى االله عليه وسلم اختر منهن أربعا
“Bahwa Ghilan masuk islam dan mempunyai sepuluh istri, maka Nabi menyuruh dia:” tahanlah yang empat dan cerailah selebihnya””.
B.Hukum Berpoligami
Hukum poligami adalah boleh, hal ini karena Nabi sendiri pernah melakukannya. Akan tetapi yang sangat perlu dicatat, bahwa Nabi melakukan poligami bukan atas dasar memenuhi hawa nafsu, namun untuk menolong janda-janda, anak-anak yatim, atas dasar agama. Dan Nabi juga berbuat adil kepada mereka, dan inilah yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami. Karena tanpa adanya nilai keadilan yang dibangun oleh seorang suami, mustahiltan untuk terwujudnya tuntutan agama. Sunan Darimi: 2109
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Arti matan:”Barang siapa yang mempunyai dua istri lalu condong pada salah satu pada salah satunya maka dihari kiamat kelak sebagian tubuhnya juga akan condong”.
C. Jumlah Maksimal Istri
Yaitu empat, hal ini sesuai dengan hadis Nabi dalam Shohih Bukhari: 4708
حدثنا محمد أخبرنا عبدة عن هشام عن أبي عن عائشة وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى قالت اليتيمة تكون عند الرجل وهو وليها فيتزوجها على مالها ويسيء صحبتها ولا يعدل في مالها فليتزوج ما طاب له من النساء سواها مثنى وثلاث ورباع
D. Cara Membagi Waktu Dalam Berpoligami
Yaitu dengan memberikan bagian-bagian waktu untuk tiap-tiap istri secara sama, Sunan Tirmidzi: 1059
حدثنا ابن أبي عمر حدثنا بشر بن السري حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك قال أبو عيسى حديث عائشة هكذا رواه غير واحد عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم ورواه حماد بن زيد وغير واحد عن أيوب عن أبي قلابة مرسلا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم وهذا أصح من حديث حماد بن سلمة ومعنى قوله لا تلمني فيما تملك ولا أملك إنما يعني به الحب والمودة كذا فسره بعض أهل العلم
Adapun jika ada perbedaan seperti gadis dan janda maka aturannya adalah ketika seorang laki-laki menikahi gadis maka ia bermalam seminggu dengannya, namun jika janda maka bermalam tiga hari, Sunan Tirmidzi: 1058
حدثنا أبو سلمة يحيى بن خلف حدثنا بشر بن المفضل عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أنس بن مالك قال لو شئت أن أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكنه قال السنة إذا تزوج الرجل البكر على امرأته أقام عندها سبعا وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا قال وفي الباب عن أم سلمة قال أبو عيسى حديث أنس حديث حسن صحيح وقد رفعه محمد بن إسحق عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس ولم يرفعه بعضهم قال والعمل على هذا عند بعض أهل العلم قالوا إذا تزوج الرجل امرأة بكرا على امرأته أقام عندها سبعا ثم قسم بينهما بعد بالعدل وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا وهو قول مالك والشافعي وأحمد وإسحق قال بعض أهل العلم من التابعين إذا تزوج البكر على امرأته أقام عندها ثلاثا وإذا تزوج الثيب أقام عندها ليلتين والقول الأول أصح
Adapun jika Istrinya merdeka dan budak maka 2/3 waktunya untuk yang merdeka, dan sisanya untuk yang budak. Pemberian waktu boleh tidak sama asal ada keridlaan dari istri yang lainnya. Dan untuk segala sesuatu yang belum ada kesepakatannya maka dengan cara diundi.
Daftar Pustaka
Drs. Khoiruddin Nasution, MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq, 2001.
CD Mausu’ah
Abdul Halim Abu Syiqqah, Kebebasan Wanita, Quwait: Darul Qalam, 1990.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang brarti banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Mata ketika kedua kata ini digabungkan akn berarti suatu perkawinan yang banyak.
Kajian tentang poligami memang kajian yang cukup pelik, juga cukup alot, satu golongan menyatakan pro dengan alasan Nabi SAW sebagai juga penah berpoligami, dan golongan yang lain menyatakan sebaliknya dengan alasan yang melemahkan penentangnya. Dari sinilah timbul pertanyaan apakah poligami merupakan sunnah Rasul ataukah bukan?. Maka pada kesempatan kali ini kita berusaha memaparkan seluk-beluk pergulatan antara poligami dan monogami.
Lebih dari itu kami juga berupaya menjelaskan batas maksimal jumlah istri dalam pernikahan karena perbedaan dalam hal itu sangatlah signifikan. Kelompok pertama memegangi ketidakbolehan menikahi wanita lebih dari satu, kelompok kedua meyakini kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa menikahi wanita lebih dari empat pun diperbolehkan. Pendapat pertama umumnya dipegangi oleh pemikir Islam belakangan, seperti Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan lainnya, pendapat kedua umumnya dipegangi ulama salaf, dan pendapat terakhir tercatat sebagai pendapat yang dipegangi madzhab Dzahiri . Perbedaan tersebut diatas bukan tanpa berpikir, tapi sebaliknya hal itu sudah di pertimbangkan, dan dirumuskan masak-masak sesuai dalil tekstual dan kontekstual, beserta implikasinya masing-masing yang menuntut adanya pahala atau siksa. Maka sekaranglah saatnya kita mengkaji perbedaan-perbedan tersebut dan mengetahui yang mana yang paling sesuai dengan maqasid as-syariah, ketika suatu permasalahan sejalan dengan maqasid as-syariah maka itulah yang digariskan Islam dan itulah yang benar.
Pernikahan adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli, maka dari itulah wajar saja kalau masalah ini tak ada habis-habisnya untuk dikaji dan dikritisi.
Pembahasan Masalah
`
A.Pro dan Kontra Sekitar Poligami
Perbedaan yang telah kami utarakan diatas berpangkal dari perbedaan dalam menafsirkan Surat an-Nisa’: 3,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pendapat pertama menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai satu langkah antisipasi agar tidak menikah melebihi satu karena dikhawatirkan tidak adil dalam berpoligami. Pendapat kedua berdasarkan pada dzahirnya ayat tanpa menjumlahkan masing-masing bilangan pada ayat tersebut. Sedangkan pendapat ketiga dengan memandang dzahirnya lafal namun dengan menjumlahkan bilangan-bilangan pada ayat tersebut, maka menurut pendapat ini boleh menikahi wanita hingga semua berjumlah18, berasal dari 2+2+3+3+4+4.
Kini saatnya kita mengkaji materi yang menjadi fokus kita, hadits ahkam.
Kebanyakan orang menganggap poligami adalah tuntunan dari Rasul sebagai sunnah yang menjadi rujukan hukum juga pedoman hidup. Memang tidak mengherankan lagi karena haditsnya pun jelas sahih,
صحيح البخاري:4680 حدثنا مسدد حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه في ليلة واحدة وله تسع نسوة و قال لي خليفة حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة أن أنسا حدثهم عن النبي صلى الله عليه وسلم
صحيح البخارى:4679
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا هشام بن يو سف أن ابن جريج أخبرهم قال أخبرني عطاء قال حضرنا مع ابن عباس جنازة ميمونة بسرف فقال ابن عباس هذه زوجة النبي صلى الله عليه وسلم فإذا رفعتم نعشها فلا تزعزعوها ولا تزلزلوها وارفقوا فإنه كان عند النبي صلى الله عليه وسلم تسع كان يقسم لثمان ولا يقسم لواحدة
Arti matan:”Atha’ berkata: “Kami bersama Ibnu Abbas telah menghadiri jenazah maimunah di tanah sarif (tempat yang terkenal di luar Makkah), Ibnu Abbas berkata:”Beliau ini adalah istri Nabi, maka ketika kamu mengangkat kerandanya
Janganlah banyak bergerak,dan berguncang, tapi janganlah terlalu pelan dan jangan pula terlalu cepat. Nabi mempunyai sembilan istri, beliau memberi bagian tertentu untuk kedelapan istrinya kecuali istrinya yang satu””. Dalam fathul Bari dijelaskan bahwa isri tersebut adalah Saudah, dan ia memberikan bagian harinya pada Aisyah.
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa nabi mempunyai sembilan istri, beliau-beliau adalah سودة وعائشة وحفصة وأم سلمة وزينب بنت جحش وأم حبيبة وجويرية وصفية وميمونةNabi mempunyai kekhususan-kekhususan, diantaranya adalah bolehnya Nabi menikahi perempuan lebih dari empat, hal ini disebutkan Allah dalam Surat Al-Ahzab: 51-52. Keterangan ini idak terdapat dalam hadits, namun disebutkan dalam Fathul Bari, Syarih juga menambahi bahwa Nabi tidak terbebani kewajiban memberikan bagian untuk tiap-tiap istrinya, serta ulama berselisih tentang batas kuantitas istri Nabi.
Angapan seperti itu juga didukung denga hadits Nabi yang lain,
صحيح البخاري:4681
حدثنا علي بن الحكم الأنصاري حدثنا أبو عوانة عن رقبة عن طلحة اليامي عن سعيد بن جبير قال قال لي ابن عباس هل تزوجت قلت لا قال فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء
Arti matan:”Sa’id Bin Jubair berkata:”Ibnu Abbas bertanya padaku:”Apakah kamu sudah menikah?”. Aku menjawab:”Belum”. Ia Berkata:”Menikahlah, karena yang terbaik diantara umat ini adalah yang paling banyak istrinya””.
Hadits tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan melihat teksnya semata, secara dzahir maksud hadits tersebut adalah seperti diatas. Namun penjelasan dari Fathul Bari menghendaki lain, yaitu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan kata khair adalah Nabi, sedangkan kata hadzihi al-ummat adalah sahabat-sahabat beliau. Seakan-akan hadits ini memberikan isyarat bahwa tidak menikah adalah hal yang marjuh atau kalah, tidak terpakai (dan menganggap menikah, memperbanyak istri adalah rajih atau pendapat yag kuat). Mengapa hadits ini memakai ungkapan yang sulit dipahami?, hal ini dapat dijawab dengan ungkapan sebaliknya, yaitu apabila hadis tersebut mengungkapkan bahwa tidak menikah adalah perbuatan yang dihukumi rajih, maka akan dikhawatirkan terjadinya pengertian yang berbeda, yaitu menikah bukan sebagai sunnah Rasul, dan hal ini hal ini memutar-balikkan Fakta.
Melihat dzahirnya hadits, maka anggapan bahwa poligami adalah benar-benar sunnah Rasul semakin kuat, dan hal ini juga serupa dengan hadits yang lain yang terkesan pro dengan adanya poligami, مسند احمد:4380
حدثنا إسماعيل أخبرنا معمر عن الزهري عن سالم عن أبيه أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وتحته عشر نسوة فقال له النبي صلى االله عليه وسلم اختر منهن أربعا
“Bahwa Ghilan masuk islam dan mempunyai sepuluh istri, maka Nabi menyuruh dia:” tahanlah yang empat dan cerailah selebihnya””.
B.Hukum Berpoligami
Hukum poligami adalah boleh, hal ini karena Nabi sendiri pernah melakukannya. Akan tetapi yang sangat perlu dicatat, bahwa Nabi melakukan poligami bukan atas dasar memenuhi hawa nafsu, namun untuk menolong janda-janda, anak-anak yatim, atas dasar agama. Dan Nabi juga berbuat adil kepada mereka, dan inilah yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami. Karena tanpa adanya nilai keadilan yang dibangun oleh seorang suami, mustahiltan untuk terwujudnya tuntutan agama. Sunan Darimi: 2109
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Arti matan:”Barang siapa yang mempunyai dua istri lalu condong pada salah satu pada salah satunya maka dihari kiamat kelak sebagian tubuhnya juga akan condong”.
C. Jumlah Maksimal Istri
Yaitu empat, hal ini sesuai dengan hadis Nabi dalam Shohih Bukhari: 4708
حدثنا محمد أخبرنا عبدة عن هشام عن أبي عن عائشة وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى قالت اليتيمة تكون عند الرجل وهو وليها فيتزوجها على مالها ويسيء صحبتها ولا يعدل في مالها فليتزوج ما طاب له من النساء سواها مثنى وثلاث ورباع
D. Cara Membagi Waktu Dalam Berpoligami
Yaitu dengan memberikan bagian-bagian waktu untuk tiap-tiap istri secara sama, Sunan Tirmidzi: 1059
حدثنا ابن أبي عمر حدثنا بشر بن السري حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك قال أبو عيسى حديث عائشة هكذا رواه غير واحد عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم ورواه حماد بن زيد وغير واحد عن أيوب عن أبي قلابة مرسلا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم وهذا أصح من حديث حماد بن سلمة ومعنى قوله لا تلمني فيما تملك ولا أملك إنما يعني به الحب والمودة كذا فسره بعض أهل العلم
Adapun jika ada perbedaan seperti gadis dan janda maka aturannya adalah ketika seorang laki-laki menikahi gadis maka ia bermalam seminggu dengannya, namun jika janda maka bermalam tiga hari, Sunan Tirmidzi: 1058
حدثنا أبو سلمة يحيى بن خلف حدثنا بشر بن المفضل عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أنس بن مالك قال لو شئت أن أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكنه قال السنة إذا تزوج الرجل البكر على امرأته أقام عندها سبعا وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا قال وفي الباب عن أم سلمة قال أبو عيسى حديث أنس حديث حسن صحيح وقد رفعه محمد بن إسحق عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس ولم يرفعه بعضهم قال والعمل على هذا عند بعض أهل العلم قالوا إذا تزوج الرجل امرأة بكرا على امرأته أقام عندها سبعا ثم قسم بينهما بعد بالعدل وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا وهو قول مالك والشافعي وأحمد وإسحق قال بعض أهل العلم من التابعين إذا تزوج البكر على امرأته أقام عندها ثلاثا وإذا تزوج الثيب أقام عندها ليلتين والقول الأول أصح
Adapun jika Istrinya merdeka dan budak maka 2/3 waktunya untuk yang merdeka, dan sisanya untuk yang budak. Pemberian waktu boleh tidak sama asal ada keridlaan dari istri yang lainnya. Dan untuk segala sesuatu yang belum ada kesepakatannya maka dengan cara diundi.
Daftar Pustaka
Drs. Khoiruddin Nasution, MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq, 2001.
CD Mausu’ah
Abdul Halim Abu Syiqqah, Kebebasan Wanita, Quwait: Darul Qalam, 1990.
Langganan:
Postingan (Atom)