ilmu islam
Selasa, 07 Juni 2011
Rabu, 17 November 2010
Senin, 03 Mei 2010
POLIGAMI DALAM ISLAM
Pendahuluan
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang brarti banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Mata ketika kedua kata ini digabungkan akn berarti suatu perkawinan yang banyak.
Kajian tentang poligami memang kajian yang cukup pelik, juga cukup alot, satu golongan menyatakan pro dengan alasan Nabi SAW sebagai juga penah berpoligami, dan golongan yang lain menyatakan sebaliknya dengan alasan yang melemahkan penentangnya. Dari sinilah timbul pertanyaan apakah poligami merupakan sunnah Rasul ataukah bukan?. Maka pada kesempatan kali ini kita berusaha memaparkan seluk-beluk pergulatan antara poligami dan monogami.
Lebih dari itu kami juga berupaya menjelaskan batas maksimal jumlah istri dalam pernikahan karena perbedaan dalam hal itu sangatlah signifikan. Kelompok pertama memegangi ketidakbolehan menikahi wanita lebih dari satu, kelompok kedua meyakini kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa menikahi wanita lebih dari empat pun diperbolehkan. Pendapat pertama umumnya dipegangi oleh pemikir Islam belakangan, seperti Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan lainnya, pendapat kedua umumnya dipegangi ulama salaf, dan pendapat terakhir tercatat sebagai pendapat yang dipegangi madzhab Dzahiri . Perbedaan tersebut diatas bukan tanpa berpikir, tapi sebaliknya hal itu sudah di pertimbangkan, dan dirumuskan masak-masak sesuai dalil tekstual dan kontekstual, beserta implikasinya masing-masing yang menuntut adanya pahala atau siksa. Maka sekaranglah saatnya kita mengkaji perbedaan-perbedan tersebut dan mengetahui yang mana yang paling sesuai dengan maqasid as-syariah, ketika suatu permasalahan sejalan dengan maqasid as-syariah maka itulah yang digariskan Islam dan itulah yang benar.
Pernikahan adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli, maka dari itulah wajar saja kalau masalah ini tak ada habis-habisnya untuk dikaji dan dikritisi.
Pembahasan Masalah
`
A.Pro dan Kontra Sekitar Poligami
Perbedaan yang telah kami utarakan diatas berpangkal dari perbedaan dalam menafsirkan Surat an-Nisa’: 3,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pendapat pertama menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai satu langkah antisipasi agar tidak menikah melebihi satu karena dikhawatirkan tidak adil dalam berpoligami. Pendapat kedua berdasarkan pada dzahirnya ayat tanpa menjumlahkan masing-masing bilangan pada ayat tersebut. Sedangkan pendapat ketiga dengan memandang dzahirnya lafal namun dengan menjumlahkan bilangan-bilangan pada ayat tersebut, maka menurut pendapat ini boleh menikahi wanita hingga semua berjumlah18, berasal dari 2+2+3+3+4+4.
Kini saatnya kita mengkaji materi yang menjadi fokus kita, hadits ahkam.
Kebanyakan orang menganggap poligami adalah tuntunan dari Rasul sebagai sunnah yang menjadi rujukan hukum juga pedoman hidup. Memang tidak mengherankan lagi karena haditsnya pun jelas sahih,
صحيح البخاري:4680 حدثنا مسدد حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه في ليلة واحدة وله تسع نسوة و قال لي خليفة حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة أن أنسا حدثهم عن النبي صلى الله عليه وسلم
صحيح البخارى:4679
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا هشام بن يو سف أن ابن جريج أخبرهم قال أخبرني عطاء قال حضرنا مع ابن عباس جنازة ميمونة بسرف فقال ابن عباس هذه زوجة النبي صلى الله عليه وسلم فإذا رفعتم نعشها فلا تزعزعوها ولا تزلزلوها وارفقوا فإنه كان عند النبي صلى الله عليه وسلم تسع كان يقسم لثمان ولا يقسم لواحدة
Arti matan:”Atha’ berkata: “Kami bersama Ibnu Abbas telah menghadiri jenazah maimunah di tanah sarif (tempat yang terkenal di luar Makkah), Ibnu Abbas berkata:”Beliau ini adalah istri Nabi, maka ketika kamu mengangkat kerandanya
Janganlah banyak bergerak,dan berguncang, tapi janganlah terlalu pelan dan jangan pula terlalu cepat. Nabi mempunyai sembilan istri, beliau memberi bagian tertentu untuk kedelapan istrinya kecuali istrinya yang satu””. Dalam fathul Bari dijelaskan bahwa isri tersebut adalah Saudah, dan ia memberikan bagian harinya pada Aisyah.
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa nabi mempunyai sembilan istri, beliau-beliau adalah سودة وعائشة وحفصة وأم سلمة وزينب بنت جحش وأم حبيبة وجويرية وصفية وميمونةNabi mempunyai kekhususan-kekhususan, diantaranya adalah bolehnya Nabi menikahi perempuan lebih dari empat, hal ini disebutkan Allah dalam Surat Al-Ahzab: 51-52. Keterangan ini idak terdapat dalam hadits, namun disebutkan dalam Fathul Bari, Syarih juga menambahi bahwa Nabi tidak terbebani kewajiban memberikan bagian untuk tiap-tiap istrinya, serta ulama berselisih tentang batas kuantitas istri Nabi.
Angapan seperti itu juga didukung denga hadits Nabi yang lain,
صحيح البخاري:4681
حدثنا علي بن الحكم الأنصاري حدثنا أبو عوانة عن رقبة عن طلحة اليامي عن سعيد بن جبير قال قال لي ابن عباس هل تزوجت قلت لا قال فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء
Arti matan:”Sa’id Bin Jubair berkata:”Ibnu Abbas bertanya padaku:”Apakah kamu sudah menikah?”. Aku menjawab:”Belum”. Ia Berkata:”Menikahlah, karena yang terbaik diantara umat ini adalah yang paling banyak istrinya””.
Hadits tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan melihat teksnya semata, secara dzahir maksud hadits tersebut adalah seperti diatas. Namun penjelasan dari Fathul Bari menghendaki lain, yaitu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan kata khair adalah Nabi, sedangkan kata hadzihi al-ummat adalah sahabat-sahabat beliau. Seakan-akan hadits ini memberikan isyarat bahwa tidak menikah adalah hal yang marjuh atau kalah, tidak terpakai (dan menganggap menikah, memperbanyak istri adalah rajih atau pendapat yag kuat). Mengapa hadits ini memakai ungkapan yang sulit dipahami?, hal ini dapat dijawab dengan ungkapan sebaliknya, yaitu apabila hadis tersebut mengungkapkan bahwa tidak menikah adalah perbuatan yang dihukumi rajih, maka akan dikhawatirkan terjadinya pengertian yang berbeda, yaitu menikah bukan sebagai sunnah Rasul, dan hal ini hal ini memutar-balikkan Fakta.
Melihat dzahirnya hadits, maka anggapan bahwa poligami adalah benar-benar sunnah Rasul semakin kuat, dan hal ini juga serupa dengan hadits yang lain yang terkesan pro dengan adanya poligami, مسند احمد:4380
حدثنا إسماعيل أخبرنا معمر عن الزهري عن سالم عن أبيه أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وتحته عشر نسوة فقال له النبي صلى االله عليه وسلم اختر منهن أربعا
“Bahwa Ghilan masuk islam dan mempunyai sepuluh istri, maka Nabi menyuruh dia:” tahanlah yang empat dan cerailah selebihnya””.
B.Hukum Berpoligami
Hukum poligami adalah boleh, hal ini karena Nabi sendiri pernah melakukannya. Akan tetapi yang sangat perlu dicatat, bahwa Nabi melakukan poligami bukan atas dasar memenuhi hawa nafsu, namun untuk menolong janda-janda, anak-anak yatim, atas dasar agama. Dan Nabi juga berbuat adil kepada mereka, dan inilah yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami. Karena tanpa adanya nilai keadilan yang dibangun oleh seorang suami, mustahiltan untuk terwujudnya tuntutan agama. Sunan Darimi: 2109
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Arti matan:”Barang siapa yang mempunyai dua istri lalu condong pada salah satu pada salah satunya maka dihari kiamat kelak sebagian tubuhnya juga akan condong”.
C. Jumlah Maksimal Istri
Yaitu empat, hal ini sesuai dengan hadis Nabi dalam Shohih Bukhari: 4708
حدثنا محمد أخبرنا عبدة عن هشام عن أبي عن عائشة وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى قالت اليتيمة تكون عند الرجل وهو وليها فيتزوجها على مالها ويسيء صحبتها ولا يعدل في مالها فليتزوج ما طاب له من النساء سواها مثنى وثلاث ورباع
D. Cara Membagi Waktu Dalam Berpoligami
Yaitu dengan memberikan bagian-bagian waktu untuk tiap-tiap istri secara sama, Sunan Tirmidzi: 1059
حدثنا ابن أبي عمر حدثنا بشر بن السري حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك قال أبو عيسى حديث عائشة هكذا رواه غير واحد عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم ورواه حماد بن زيد وغير واحد عن أيوب عن أبي قلابة مرسلا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم وهذا أصح من حديث حماد بن سلمة ومعنى قوله لا تلمني فيما تملك ولا أملك إنما يعني به الحب والمودة كذا فسره بعض أهل العلم
Adapun jika ada perbedaan seperti gadis dan janda maka aturannya adalah ketika seorang laki-laki menikahi gadis maka ia bermalam seminggu dengannya, namun jika janda maka bermalam tiga hari, Sunan Tirmidzi: 1058
حدثنا أبو سلمة يحيى بن خلف حدثنا بشر بن المفضل عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أنس بن مالك قال لو شئت أن أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكنه قال السنة إذا تزوج الرجل البكر على امرأته أقام عندها سبعا وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا قال وفي الباب عن أم سلمة قال أبو عيسى حديث أنس حديث حسن صحيح وقد رفعه محمد بن إسحق عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس ولم يرفعه بعضهم قال والعمل على هذا عند بعض أهل العلم قالوا إذا تزوج الرجل امرأة بكرا على امرأته أقام عندها سبعا ثم قسم بينهما بعد بالعدل وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا وهو قول مالك والشافعي وأحمد وإسحق قال بعض أهل العلم من التابعين إذا تزوج البكر على امرأته أقام عندها ثلاثا وإذا تزوج الثيب أقام عندها ليلتين والقول الأول أصح
Adapun jika Istrinya merdeka dan budak maka 2/3 waktunya untuk yang merdeka, dan sisanya untuk yang budak. Pemberian waktu boleh tidak sama asal ada keridlaan dari istri yang lainnya. Dan untuk segala sesuatu yang belum ada kesepakatannya maka dengan cara diundi.
Daftar Pustaka
Drs. Khoiruddin Nasution, MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq, 2001.
CD Mausu’ah
Abdul Halim Abu Syiqqah, Kebebasan Wanita, Quwait: Darul Qalam, 1990.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang brarti banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Mata ketika kedua kata ini digabungkan akn berarti suatu perkawinan yang banyak.
Kajian tentang poligami memang kajian yang cukup pelik, juga cukup alot, satu golongan menyatakan pro dengan alasan Nabi SAW sebagai juga penah berpoligami, dan golongan yang lain menyatakan sebaliknya dengan alasan yang melemahkan penentangnya. Dari sinilah timbul pertanyaan apakah poligami merupakan sunnah Rasul ataukah bukan?. Maka pada kesempatan kali ini kita berusaha memaparkan seluk-beluk pergulatan antara poligami dan monogami.
Lebih dari itu kami juga berupaya menjelaskan batas maksimal jumlah istri dalam pernikahan karena perbedaan dalam hal itu sangatlah signifikan. Kelompok pertama memegangi ketidakbolehan menikahi wanita lebih dari satu, kelompok kedua meyakini kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa menikahi wanita lebih dari empat pun diperbolehkan. Pendapat pertama umumnya dipegangi oleh pemikir Islam belakangan, seperti Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan lainnya, pendapat kedua umumnya dipegangi ulama salaf, dan pendapat terakhir tercatat sebagai pendapat yang dipegangi madzhab Dzahiri . Perbedaan tersebut diatas bukan tanpa berpikir, tapi sebaliknya hal itu sudah di pertimbangkan, dan dirumuskan masak-masak sesuai dalil tekstual dan kontekstual, beserta implikasinya masing-masing yang menuntut adanya pahala atau siksa. Maka sekaranglah saatnya kita mengkaji perbedaan-perbedan tersebut dan mengetahui yang mana yang paling sesuai dengan maqasid as-syariah, ketika suatu permasalahan sejalan dengan maqasid as-syariah maka itulah yang digariskan Islam dan itulah yang benar.
Pernikahan adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli, maka dari itulah wajar saja kalau masalah ini tak ada habis-habisnya untuk dikaji dan dikritisi.
Pembahasan Masalah
`
A.Pro dan Kontra Sekitar Poligami
Perbedaan yang telah kami utarakan diatas berpangkal dari perbedaan dalam menafsirkan Surat an-Nisa’: 3,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pendapat pertama menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai satu langkah antisipasi agar tidak menikah melebihi satu karena dikhawatirkan tidak adil dalam berpoligami. Pendapat kedua berdasarkan pada dzahirnya ayat tanpa menjumlahkan masing-masing bilangan pada ayat tersebut. Sedangkan pendapat ketiga dengan memandang dzahirnya lafal namun dengan menjumlahkan bilangan-bilangan pada ayat tersebut, maka menurut pendapat ini boleh menikahi wanita hingga semua berjumlah18, berasal dari 2+2+3+3+4+4.
Kini saatnya kita mengkaji materi yang menjadi fokus kita, hadits ahkam.
Kebanyakan orang menganggap poligami adalah tuntunan dari Rasul sebagai sunnah yang menjadi rujukan hukum juga pedoman hidup. Memang tidak mengherankan lagi karena haditsnya pun jelas sahih,
صحيح البخاري:4680 حدثنا مسدد حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه في ليلة واحدة وله تسع نسوة و قال لي خليفة حدثنا يزيد بن زريع حدثنا سعيد عن قتادة أن أنسا حدثهم عن النبي صلى الله عليه وسلم
صحيح البخارى:4679
حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا هشام بن يو سف أن ابن جريج أخبرهم قال أخبرني عطاء قال حضرنا مع ابن عباس جنازة ميمونة بسرف فقال ابن عباس هذه زوجة النبي صلى الله عليه وسلم فإذا رفعتم نعشها فلا تزعزعوها ولا تزلزلوها وارفقوا فإنه كان عند النبي صلى الله عليه وسلم تسع كان يقسم لثمان ولا يقسم لواحدة
Arti matan:”Atha’ berkata: “Kami bersama Ibnu Abbas telah menghadiri jenazah maimunah di tanah sarif (tempat yang terkenal di luar Makkah), Ibnu Abbas berkata:”Beliau ini adalah istri Nabi, maka ketika kamu mengangkat kerandanya
Janganlah banyak bergerak,dan berguncang, tapi janganlah terlalu pelan dan jangan pula terlalu cepat. Nabi mempunyai sembilan istri, beliau memberi bagian tertentu untuk kedelapan istrinya kecuali istrinya yang satu””. Dalam fathul Bari dijelaskan bahwa isri tersebut adalah Saudah, dan ia memberikan bagian harinya pada Aisyah.
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa nabi mempunyai sembilan istri, beliau-beliau adalah سودة وعائشة وحفصة وأم سلمة وزينب بنت جحش وأم حبيبة وجويرية وصفية وميمونةNabi mempunyai kekhususan-kekhususan, diantaranya adalah bolehnya Nabi menikahi perempuan lebih dari empat, hal ini disebutkan Allah dalam Surat Al-Ahzab: 51-52. Keterangan ini idak terdapat dalam hadits, namun disebutkan dalam Fathul Bari, Syarih juga menambahi bahwa Nabi tidak terbebani kewajiban memberikan bagian untuk tiap-tiap istrinya, serta ulama berselisih tentang batas kuantitas istri Nabi.
Angapan seperti itu juga didukung denga hadits Nabi yang lain,
صحيح البخاري:4681
حدثنا علي بن الحكم الأنصاري حدثنا أبو عوانة عن رقبة عن طلحة اليامي عن سعيد بن جبير قال قال لي ابن عباس هل تزوجت قلت لا قال فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء
Arti matan:”Sa’id Bin Jubair berkata:”Ibnu Abbas bertanya padaku:”Apakah kamu sudah menikah?”. Aku menjawab:”Belum”. Ia Berkata:”Menikahlah, karena yang terbaik diantara umat ini adalah yang paling banyak istrinya””.
Hadits tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan melihat teksnya semata, secara dzahir maksud hadits tersebut adalah seperti diatas. Namun penjelasan dari Fathul Bari menghendaki lain, yaitu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan kata khair adalah Nabi, sedangkan kata hadzihi al-ummat adalah sahabat-sahabat beliau. Seakan-akan hadits ini memberikan isyarat bahwa tidak menikah adalah hal yang marjuh atau kalah, tidak terpakai (dan menganggap menikah, memperbanyak istri adalah rajih atau pendapat yag kuat). Mengapa hadits ini memakai ungkapan yang sulit dipahami?, hal ini dapat dijawab dengan ungkapan sebaliknya, yaitu apabila hadis tersebut mengungkapkan bahwa tidak menikah adalah perbuatan yang dihukumi rajih, maka akan dikhawatirkan terjadinya pengertian yang berbeda, yaitu menikah bukan sebagai sunnah Rasul, dan hal ini hal ini memutar-balikkan Fakta.
Melihat dzahirnya hadits, maka anggapan bahwa poligami adalah benar-benar sunnah Rasul semakin kuat, dan hal ini juga serupa dengan hadits yang lain yang terkesan pro dengan adanya poligami, مسند احمد:4380
حدثنا إسماعيل أخبرنا معمر عن الزهري عن سالم عن أبيه أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وتحته عشر نسوة فقال له النبي صلى االله عليه وسلم اختر منهن أربعا
“Bahwa Ghilan masuk islam dan mempunyai sepuluh istri, maka Nabi menyuruh dia:” tahanlah yang empat dan cerailah selebihnya””.
B.Hukum Berpoligami
Hukum poligami adalah boleh, hal ini karena Nabi sendiri pernah melakukannya. Akan tetapi yang sangat perlu dicatat, bahwa Nabi melakukan poligami bukan atas dasar memenuhi hawa nafsu, namun untuk menolong janda-janda, anak-anak yatim, atas dasar agama. Dan Nabi juga berbuat adil kepada mereka, dan inilah yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami. Karena tanpa adanya nilai keadilan yang dibangun oleh seorang suami, mustahiltan untuk terwujudnya tuntutan agama. Sunan Darimi: 2109
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Arti matan:”Barang siapa yang mempunyai dua istri lalu condong pada salah satu pada salah satunya maka dihari kiamat kelak sebagian tubuhnya juga akan condong”.
C. Jumlah Maksimal Istri
Yaitu empat, hal ini sesuai dengan hadis Nabi dalam Shohih Bukhari: 4708
حدثنا محمد أخبرنا عبدة عن هشام عن أبي عن عائشة وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى قالت اليتيمة تكون عند الرجل وهو وليها فيتزوجها على مالها ويسيء صحبتها ولا يعدل في مالها فليتزوج ما طاب له من النساء سواها مثنى وثلاث ورباع
D. Cara Membagi Waktu Dalam Berpoligami
Yaitu dengan memberikan bagian-bagian waktu untuk tiap-tiap istri secara sama, Sunan Tirmidzi: 1059
حدثنا ابن أبي عمر حدثنا بشر بن السري حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك قال أبو عيسى حديث عائشة هكذا رواه غير واحد عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن عبد الله بن يزيد عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم ورواه حماد بن زيد وغير واحد عن أيوب عن أبي قلابة مرسلا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم وهذا أصح من حديث حماد بن سلمة ومعنى قوله لا تلمني فيما تملك ولا أملك إنما يعني به الحب والمودة كذا فسره بعض أهل العلم
Adapun jika ada perbedaan seperti gadis dan janda maka aturannya adalah ketika seorang laki-laki menikahi gadis maka ia bermalam seminggu dengannya, namun jika janda maka bermalam tiga hari, Sunan Tirmidzi: 1058
حدثنا أبو سلمة يحيى بن خلف حدثنا بشر بن المفضل عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أنس بن مالك قال لو شئت أن أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكنه قال السنة إذا تزوج الرجل البكر على امرأته أقام عندها سبعا وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا قال وفي الباب عن أم سلمة قال أبو عيسى حديث أنس حديث حسن صحيح وقد رفعه محمد بن إسحق عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس ولم يرفعه بعضهم قال والعمل على هذا عند بعض أهل العلم قالوا إذا تزوج الرجل امرأة بكرا على امرأته أقام عندها سبعا ثم قسم بينهما بعد بالعدل وإذا تزوج الثيب على امرأته أقام عندها ثلاثا وهو قول مالك والشافعي وأحمد وإسحق قال بعض أهل العلم من التابعين إذا تزوج البكر على امرأته أقام عندها ثلاثا وإذا تزوج الثيب أقام عندها ليلتين والقول الأول أصح
Adapun jika Istrinya merdeka dan budak maka 2/3 waktunya untuk yang merdeka, dan sisanya untuk yang budak. Pemberian waktu boleh tidak sama asal ada keridlaan dari istri yang lainnya. Dan untuk segala sesuatu yang belum ada kesepakatannya maka dengan cara diundi.
Daftar Pustaka
Drs. Khoiruddin Nasution, MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq, 2001.
CD Mausu’ah
Abdul Halim Abu Syiqqah, Kebebasan Wanita, Quwait: Darul Qalam, 1990.
Sabtu, 30 Mei 2009
receipt provisions god
C. Ikhlas
The etimologis, stems from the sincere words khalasa which means clean, clear, pure and not mixed. Formed after a single-minded berarrti clean or purify. While the terminologis is a sincere labor is simply to get ridla Allah SWT.
Three elements: grace
Ikhlas is not determined by any or no material reward, but is determined by three factors, namely:
1. A sincere intention
In Islam, intention is very important factor, what should be done by someone based on bona ridla find God, not based on other motivations. Factor determining this is very acceptable practice or not someone on the side of God. Lhir amalnya are never good, but if the intention is not the basis for God amalannya will not be accepted and is useless.
2. Do well
Lkhlas melekuksn intention that something must membuktikannya do with these acts should dengn. Done with work ethics and a high professionalitas, may not be sembarangn, so original, especially ragged. Quality of charity work or does not have relation with humor or imabalan material.
3. Utilization of the results with both
Unsure from grace is the utilization of results are, that is sincere or not someone does not exist or is determined not by material rewards obtained, tetepi determined by the intention, the quality of charity, the results.
Eminency ikhlas
Allah SWT commanded us to worship Him kepeda-dengn full sincerity and do solely ridho expect him, in his words QS.Al-An 'am:
"Say: Verily salatku, ibadahku, life and death, are for Allah, Lord of the".
Riya Removing practice
Is single-minded opponents of riya. Seseatu not do that is because God, because tetepi want to be recommended because the intention or the other not to God. The word stems etimologis riya ra-a, Yara (view), fig-a, Yuri-u (show). So that people have shifted in the intention, not more keridoan search for God, but mengrarap praise of others. So that it can be concluded that in the struggle and not a cause riya resistant face the challenges and obstacles. Setaminanya not strong and not long-winded. Dia akan mudur quickly and jaded and nafsunnya when there is no memujinya. Conversely when receiving praise and flattery he will quickly forget and arrogant self. Both akan clear disadvantage themselves. Unlike the single-minded person, not terbuai with honors and is not jaded with the criticism. Staminanya strong and long-winded, even if love does not get the praise and the praise of anyone, keikhlasanya fear will fade, and more than that he classified the diridhoi that Allah SWT.
The etimologis, stems from the sincere words khalasa which means clean, clear, pure and not mixed. Formed after a single-minded berarrti clean or purify. While the terminologis is a sincere labor is simply to get ridla Allah SWT.
Three elements: grace
Ikhlas is not determined by any or no material reward, but is determined by three factors, namely:
1. A sincere intention
In Islam, intention is very important factor, what should be done by someone based on bona ridla find God, not based on other motivations. Factor determining this is very acceptable practice or not someone on the side of God. Lhir amalnya are never good, but if the intention is not the basis for God amalannya will not be accepted and is useless.
2. Do well
Lkhlas melekuksn intention that something must membuktikannya do with these acts should dengn. Done with work ethics and a high professionalitas, may not be sembarangn, so original, especially ragged. Quality of charity work or does not have relation with humor or imabalan material.
3. Utilization of the results with both
Unsure from grace is the utilization of results are, that is sincere or not someone does not exist or is determined not by material rewards obtained, tetepi determined by the intention, the quality of charity, the results.
Eminency ikhlas
Allah SWT commanded us to worship Him kepeda-dengn full sincerity and do solely ridho expect him, in his words QS.Al-An 'am:
"Say: Verily salatku, ibadahku, life and death, are for Allah, Lord of the".
Riya Removing practice
Is single-minded opponents of riya. Seseatu not do that is because God, because tetepi want to be recommended because the intention or the other not to God. The word stems etimologis riya ra-a, Yara (view), fig-a, Yuri-u (show). So that people have shifted in the intention, not more keridoan search for God, but mengrarap praise of others. So that it can be concluded that in the struggle and not a cause riya resistant face the challenges and obstacles. Setaminanya not strong and not long-winded. Dia akan mudur quickly and jaded and nafsunnya when there is no memujinya. Conversely when receiving praise and flattery he will quickly forget and arrogant self. Both akan clear disadvantage themselves. Unlike the single-minded person, not terbuai with honors and is not jaded with the criticism. Staminanya strong and long-winded, even if love does not get the praise and the praise of anyone, keikhlasanya fear will fade, and more than that he classified the diridhoi that Allah SWT.
Senin, 25 Mei 2009
Taqwa Pada Allah
Taqwa pada Allah :Resume Karangan Yunahar Isyas
PENDAHULUAN
Ada beberapa definisi yang menyatakan bahwa akhlak atau khuluk itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dulu, secara tidak memerlukan pemikiran orang lain.
Istilah akhlak dalam bahasa arab yaitu “khalaka” (menciptakan), “makhliqun” (yang diciptakan) dan “khaliqun” yang menciptakan. Dalam kontek bahasa al quran, kata “khalaqa” menunjukan pengertian : menciptakan dari tiada ke ada. Karena itu, “khaliqn” menunjuk kepada zat yang serba kuat, dan sebaliknya, “makhliqun” menunjuk kepada konsep segala sesuatu yang serba lemah (dha’if).
Demikian, muatan istilah “akhlak” pada hakikatnya di sekitar pandangan, sifat, sikap dan tingkah laku yang seharusnya disadari dan dihayati dalam kehidupan nyata sehari hari sesuai dengan kondisi kelemahanya (kedhaifanya). Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak bersedia menyadari dan menghayati muatan “akhlak”, sama artinya dengan orang bersangkutan “mengingkari kondisi kemakhlukanya” yang sebenarnya serba lemah itu. Oleh karena itu pula berakhlaq (dalam ejaan indonesianya “berakhlaq”) bagi manusia sebagai makhluq merupakan sebuah keniscayaan. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlaq” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlak” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Namun sayangnya, istilah ini masih kurang dipopulerkan oleh umat islam sendiri.
Dalam konteks struktur agama islam, dalam arti setelah ajaran islam, “disistematikan”, akhlak merupakan salah stu disiplin ilmu tersendiri. Sementara itu ada yang memasukanya dalam sub disiplin ilmu yang lain. Namun yang pasti, dunia akhlak adalah dunia “penghayatan keberagamaan” dan sekaligus dunia “ ekspresi fungsional” dari penghayatan keberagamaan tersebut. Yang ideal, akhlak sebagi disiplin ilmu dan sebagi wujut kongkrit pengalaman perlu diusahakan berjalan saling mendukung dan memperkokoh.
PEMBAHASAN
A. TAQWA
Definisi taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Lebih lanjut Thabbarah mengatkan bahwa makna asal sari taqwa adalah pemeliharaan diri. Seseorang yang bertaqwa dia akan hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya dia tidak meninggalkannya. Hati-hati menjaga larangan Allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat hidup selamat dunia akhirat.
a. Hakikat Taqwa
Bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut. Dalam Surat al-Baqarah ayat 177 Allah SWT mendefinisikan al-Birru dengan iman (beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan Nabi), Islam (mendirikan shalat dan menunaikan zakat) dan Ihsan (mendermakan harta yang dicintainya, menepati janji dan sabar). Dalam Surat al-Baqarah ayat 3-4 disebutkan empat criteria orang-orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Beriman kepada yang ghaib
2. Mendirikan shalat
3. Menafkahkan sebagian rizeki yang diterimanya dari Allah
4. Beriman kepada kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya
5. Beriman kepada hari akhir.
Sementara itu dari Surat Ali Imran ayat 134-135 disebutkan empat cirri-ciri orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Dermawan (menafkahkan hartanya baik dalam waktu lapang maupun sempit).
2. Mampu menahan amarah.
3. Pemaaf.
4. Istighfar dan taubat dari segala kesalahan.
Dari beberapa ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hakikat taqwa adalah memadukan secara integral aspek Iman, Islam, dan Ihsan dalam diri seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan Muhsin.
b. Bertaqwa Secara Maksimal
Dalam Surat Ali Imran ayat 120 Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki. Kualitas ketaqwaan seseorang meningkatkan tingkat kemuliaannya di sisi Allah. Semakin maksimal ketaqwaannya semakin mulia dia.
c. Buah Dari Taqwa
Seseorang yang berraqwa kepada Allah SWT akan memetik buahnya baik di dunia maupun akhirat, yaitu :
1. Mendapatkan sifat Furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela. (QS. Al-Anfal : 4)
2. Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi. (al-A’raf : 96)
3. Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan. (at-Talaq : 2)
4. Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga. (at-Talaq : 3)
5. mendapatkan kemudahan dalam urusannya. (at-Talaq : 4)
6. Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar. (al-Anfal : 29)
B. CINTA DAN RIDLA
Cinta adalah kesadaran diri. Perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih saying. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali yaitu kepada Allah SWT karena Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memeliharanya.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Sedangkan cinta kepada ibu ayah, anak-anak, sanak saudara, harta benda dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada di abwah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaannya harus sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti segala yang diajarkan oleh Rasulullah, seperti dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 31. Bila seseorang mencintai Allah SWT tentu dia akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya, meninggalkan sesuatu yang tidak disukai-Nya. Bahkan dalam satu hadis Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan merasakan kemanisan iman tatkala di mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala-galanya.
C. IKHLAS
Secara etimologis, ikhlas berakar dari kata khalasa yang artinya bersih, jernih, murni dan tidak tercampur. Setelah dibentuk menjadi ikhlas berarrti membersihkan atau memurnikan. Sedangkan secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata untuk mendapatkan ridla Allah SWT.
Tiga Unsur Keikhlasan
Ikhlas itu tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi, tetapi ditentukan oleh tiga factor, yaitu :
1. Niat yang ikhlas
Dalam Islam, factor niat sangat penting, apa saja yang dilakukan oleh seseorang haruslah berdasarkan niat mencari ridla Allah, bukan berdasarkan motivasi lain. Factor ini memang sangat menentukan diterima atau tidaknya amalan seseorang di sisi Allah. Betapapun secara lhir amalnya baik, tapi kalau landasan niatnya bukan karena Allah amalannya tidak akan diterima dan merupakan hal yang sia-sia.
2. Beramal dengan sebaik-baiknya
Niat yang lkhlas melekuksn sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan tersebut dengn sebaiknya. Dilakukan dengan etos kerja dan professionalitas yang tinggi, tidak boleh sembarangn, asal jadi, apalagi acak-acakan. Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitannya denga humor atau imabalan materi.
3. Pemanfaatan hasil usaha dengan baik
Unsure Dari keikhlasan ini menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh, yaitu ikhlas atau tidaknya seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi yang didapat, tetepi ditentukan oleh niat, kualitas amal, pemanfaatan hasil.
Keutamaan ikhlas
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepeda-Nya dengn penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharap ridho-Nya, dalam firman-Nya QS.Al-An’am:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta”.
Riya Menghapus Amalan
Lawan dari ikhlas adalah riya. Yaitu melakukan seseatu bukan karena Allah, tetepi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya yang bukan untuk Allah. Secara etimologis riya berakar kata ra-a, yara (melihat), ara-a, yuri-u (memperlihatkan). Sehingga orang dalam niatnya sudah bergeser, bukan lagi mencari keridoan Allah, tetapi mengrarap pujian orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam dan berjuang riya menyebabkan seorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan. Setaminanya tidak kuat dan nafasnya tidak panjang. Dia akan cepat mudur dan patah semangat dan nafsunnya bila tidak ada yang memujinya. Sebaliknya bila menerima pujian dan sanjungan dia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua-duanya jelas akan merugikan dirinya sendiri. Berbeda dengan orang yang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya kuat dan nafasnya panjang, bahkan tidak suka bila mendapat sanjungan dan pujian dari siapapun, takut akan luntur keikhlasanya, dan lebih dari itu ia tergolong orang yang diridhoi Allah SWT.
D. KHAUF DAN RAJA’
khauf dan raja’ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Bila salah satu yang dominant dari yang lainya akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang.dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa, sementara dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai dan lupa diri serta meresa aman dari azab Allah SWT. Yang pertama adalah sikap orang kafir, dan yang kedua adalah sikap orang-orang yang merugi. Yang kedua menyadarkan manusia untuk tidak meneruskan kemaksiatan yang telah dilakukannya dan menjauhkan dari segala macam bentuk kefasikan dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Jika seseorang takut kepada Allah, maka dia akan menjaga matanya dari pandangan yang dilarang, dan memelihara hatinya dari sifat sifat benci, iri, dengki,sombong, riya, takabur dan lain-lain.
1. Raja’
Raja’ atau harap adalah memautkan hari dari sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh sungguh, harapan tanpa usaha namanya angan angan kosong. Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf dari bab takhalliyah (menyongsong hati dari sifat jelek), sedangkan raja’ dari bab mukhalafah (meninggalkan segala pelanggaran), dan tahalliyah mendorong seseorang untuk beramal.
2. Khauf
Khauf adalah kegaulan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukai (faza’ al-qalb min makyuh yanaluh). Dalam islam semua rasa takut bersumber dari rasa takut pada Allah SWT. Hanya Allahlah yang paling berhak untuk ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya.
Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa orang takut pada Allah SWT, yaitu :
Karena dia mengenal Allah SWT. Takut seperti ini dinamai dengan khaufal-‘Arifin.
Karena dosa dosa yang dilakukannya, ia takut akan azab Allah SWT.
Sikap khauf dan raja’ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri seseorang muslim. Kalu hanya membayangkan azab Allah seseorang akan putus asa untuk dapat masuk surga, sebaliknya kalau hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga.
PENDAHULUAN
Ada beberapa definisi yang menyatakan bahwa akhlak atau khuluk itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dulu, secara tidak memerlukan pemikiran orang lain.
Istilah akhlak dalam bahasa arab yaitu “khalaka” (menciptakan), “makhliqun” (yang diciptakan) dan “khaliqun” yang menciptakan. Dalam kontek bahasa al quran, kata “khalaqa” menunjukan pengertian : menciptakan dari tiada ke ada. Karena itu, “khaliqn” menunjuk kepada zat yang serba kuat, dan sebaliknya, “makhliqun” menunjuk kepada konsep segala sesuatu yang serba lemah (dha’if).
Demikian, muatan istilah “akhlak” pada hakikatnya di sekitar pandangan, sifat, sikap dan tingkah laku yang seharusnya disadari dan dihayati dalam kehidupan nyata sehari hari sesuai dengan kondisi kelemahanya (kedhaifanya). Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak bersedia menyadari dan menghayati muatan “akhlak”, sama artinya dengan orang bersangkutan “mengingkari kondisi kemakhlukanya” yang sebenarnya serba lemah itu. Oleh karena itu pula berakhlaq (dalam ejaan indonesianya “berakhlaq”) bagi manusia sebagai makhluq merupakan sebuah keniscayaan. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlaq” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlak” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Namun sayangnya, istilah ini masih kurang dipopulerkan oleh umat islam sendiri.
Dalam konteks struktur agama islam, dalam arti setelah ajaran islam, “disistematikan”, akhlak merupakan salah stu disiplin ilmu tersendiri. Sementara itu ada yang memasukanya dalam sub disiplin ilmu yang lain. Namun yang pasti, dunia akhlak adalah dunia “penghayatan keberagamaan” dan sekaligus dunia “ ekspresi fungsional” dari penghayatan keberagamaan tersebut. Yang ideal, akhlak sebagi disiplin ilmu dan sebagi wujut kongkrit pengalaman perlu diusahakan berjalan saling mendukung dan memperkokoh.
PEMBAHASAN
A. TAQWA
Definisi taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Lebih lanjut Thabbarah mengatkan bahwa makna asal sari taqwa adalah pemeliharaan diri. Seseorang yang bertaqwa dia akan hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya dia tidak meninggalkannya. Hati-hati menjaga larangan Allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat hidup selamat dunia akhirat.
a. Hakikat Taqwa
Bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut. Dalam Surat al-Baqarah ayat 177 Allah SWT mendefinisikan al-Birru dengan iman (beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan Nabi), Islam (mendirikan shalat dan menunaikan zakat) dan Ihsan (mendermakan harta yang dicintainya, menepati janji dan sabar). Dalam Surat al-Baqarah ayat 3-4 disebutkan empat criteria orang-orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Beriman kepada yang ghaib
2. Mendirikan shalat
3. Menafkahkan sebagian rizeki yang diterimanya dari Allah
4. Beriman kepada kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya
5. Beriman kepada hari akhir.
Sementara itu dari Surat Ali Imran ayat 134-135 disebutkan empat cirri-ciri orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Dermawan (menafkahkan hartanya baik dalam waktu lapang maupun sempit).
2. Mampu menahan amarah.
3. Pemaaf.
4. Istighfar dan taubat dari segala kesalahan.
Dari beberapa ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hakikat taqwa adalah memadukan secara integral aspek Iman, Islam, dan Ihsan dalam diri seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan Muhsin.
b. Bertaqwa Secara Maksimal
Dalam Surat Ali Imran ayat 120 Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki. Kualitas ketaqwaan seseorang meningkatkan tingkat kemuliaannya di sisi Allah. Semakin maksimal ketaqwaannya semakin mulia dia.
c. Buah Dari Taqwa
Seseorang yang berraqwa kepada Allah SWT akan memetik buahnya baik di dunia maupun akhirat, yaitu :
1. Mendapatkan sifat Furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela. (QS. Al-Anfal : 4)
2. Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi. (al-A’raf : 96)
3. Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan. (at-Talaq : 2)
4. Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga. (at-Talaq : 3)
5. mendapatkan kemudahan dalam urusannya. (at-Talaq : 4)
6. Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar. (al-Anfal : 29)
B. CINTA DAN RIDLA
Cinta adalah kesadaran diri. Perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih saying. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali yaitu kepada Allah SWT karena Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memeliharanya.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Sedangkan cinta kepada ibu ayah, anak-anak, sanak saudara, harta benda dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada di abwah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaannya harus sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti segala yang diajarkan oleh Rasulullah, seperti dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 31. Bila seseorang mencintai Allah SWT tentu dia akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya, meninggalkan sesuatu yang tidak disukai-Nya. Bahkan dalam satu hadis Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan merasakan kemanisan iman tatkala di mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala-galanya.
C. IKHLAS
Secara etimologis, ikhlas berakar dari kata khalasa yang artinya bersih, jernih, murni dan tidak tercampur. Setelah dibentuk menjadi ikhlas berarrti membersihkan atau memurnikan. Sedangkan secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata untuk mendapatkan ridla Allah SWT.
Tiga Unsur Keikhlasan
Ikhlas itu tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi, tetapi ditentukan oleh tiga factor, yaitu :
1. Niat yang ikhlas
Dalam Islam, factor niat sangat penting, apa saja yang dilakukan oleh seseorang haruslah berdasarkan niat mencari ridla Allah, bukan berdasarkan motivasi lain. Factor ini memang sangat menentukan diterima atau tidaknya amalan seseorang di sisi Allah. Betapapun secara lhir amalnya baik, tapi kalau landasan niatnya bukan karena Allah amalannya tidak akan diterima dan merupakan hal yang sia-sia.
2. Beramal dengan sebaik-baiknya
Niat yang lkhlas melekuksn sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan tersebut dengn sebaiknya. Dilakukan dengan etos kerja dan professionalitas yang tinggi, tidak boleh sembarangn, asal jadi, apalagi acak-acakan. Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitannya denga humor atau imabalan materi.
3. Pemanfaatan hasil usaha dengan baik
Unsure Dari keikhlasan ini menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh, yaitu ikhlas atau tidaknya seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi yang didapat, tetepi ditentukan oleh niat, kualitas amal, pemanfaatan hasil.
Keutamaan ikhlas
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepeda-Nya dengn penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharap ridho-Nya, dalam firman-Nya QS.Al-An’am:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta”.
Riya Menghapus Amalan
Lawan dari ikhlas adalah riya. Yaitu melakukan seseatu bukan karena Allah, tetepi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya yang bukan untuk Allah. Secara etimologis riya berakar kata ra-a, yara (melihat), ara-a, yuri-u (memperlihatkan). Sehingga orang dalam niatnya sudah bergeser, bukan lagi mencari keridoan Allah, tetapi mengrarap pujian orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam dan berjuang riya menyebabkan seorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan. Setaminanya tidak kuat dan nafasnya tidak panjang. Dia akan cepat mudur dan patah semangat dan nafsunnya bila tidak ada yang memujinya. Sebaliknya bila menerima pujian dan sanjungan dia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua-duanya jelas akan merugikan dirinya sendiri. Berbeda dengan orang yang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya kuat dan nafasnya panjang, bahkan tidak suka bila mendapat sanjungan dan pujian dari siapapun, takut akan luntur keikhlasanya, dan lebih dari itu ia tergolong orang yang diridhoi Allah SWT.
D. KHAUF DAN RAJA’
khauf dan raja’ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Bila salah satu yang dominant dari yang lainya akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang.dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa, sementara dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai dan lupa diri serta meresa aman dari azab Allah SWT. Yang pertama adalah sikap orang kafir, dan yang kedua adalah sikap orang-orang yang merugi. Yang kedua menyadarkan manusia untuk tidak meneruskan kemaksiatan yang telah dilakukannya dan menjauhkan dari segala macam bentuk kefasikan dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Jika seseorang takut kepada Allah, maka dia akan menjaga matanya dari pandangan yang dilarang, dan memelihara hatinya dari sifat sifat benci, iri, dengki,sombong, riya, takabur dan lain-lain.
1. Raja’
Raja’ atau harap adalah memautkan hari dari sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh sungguh, harapan tanpa usaha namanya angan angan kosong. Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf dari bab takhalliyah (menyongsong hati dari sifat jelek), sedangkan raja’ dari bab mukhalafah (meninggalkan segala pelanggaran), dan tahalliyah mendorong seseorang untuk beramal.
2. Khauf
Khauf adalah kegaulan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukai (faza’ al-qalb min makyuh yanaluh). Dalam islam semua rasa takut bersumber dari rasa takut pada Allah SWT. Hanya Allahlah yang paling berhak untuk ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya.
Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa orang takut pada Allah SWT, yaitu :
Karena dia mengenal Allah SWT. Takut seperti ini dinamai dengan khaufal-‘Arifin.
Karena dosa dosa yang dilakukannya, ia takut akan azab Allah SWT.
Sikap khauf dan raja’ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri seseorang muslim. Kalu hanya membayangkan azab Allah seseorang akan putus asa untuk dapat masuk surga, sebaliknya kalau hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga.
Kamis, 21 Mei 2009
Hukum Bunga Bank
Seluk beluk bank menjadikan pertanyaan bagi orang muslim. Termasuk riba kah bunga bank itu,?. Karena orang muslim dianjurkan agar selalu hati hati dalam menggunakan, mengkonsumsi untuk kebutuhan sehari hari. Jangan sampai memiliki atau memakan, atau juga memanfaatkan barang yang haram. Termasuk bunga atau hasil tambahan yang didapat dari jalan yang bathil.
Agar tidak salah faham, sebagau manusia dituntut untuk mencari ilmu dan mengamalkannya yang tujuannya untuk dapat menetahui jalan manakah yang harus ditempuh dalam hidup agar selamat dunia akherat.
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Praktek riba dilarang dalam Islam dan merupakan salah satu dosa besar. Allah SWT dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap pihak-pihak yang melakukan akad jual beli berbasis riba, sebagaimana tercantum didalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah 2, ayat 278-279: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Posted by ferry
Riba Bunga Bank
Sering terjadi perdebatan tentang boleh atau tidaknya bahwa masyarakat berinteraksi dengan bank. Kenapa demikian..? karena menabung dibank sama tidak terlepas dari bunga, yang biasa disebut bunga bank. Padahal dalam islam yang namanya bunga hukumnya haram.
Seperti halnya bila kita meminjamkan uang kepada orang lain dan dengan perjanjian harus mengembalikan dengan lebih sebagai bunganya, maka hukumnya haram. Islam sangat mengecam tentang membungakan uang atau barang.
Untuk lebih jelasnya baca keterangan di bawah ini dari majelis ulama indonesia.
Majelias Ulama Indonesia.
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
MENIMBANG :
a. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
b. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
c. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
a. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
b. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary :
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
d. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
e. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
f. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
g. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
h. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
a. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
b. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
posted by farid wahid
Seperti halnya bila kita meminjamkan uang kepada orang lain dan dengan perjanjian harus mengembalikan dengan lebih sebagai bunganya, maka hukumnya haram. Islam sangat mengecam tentang membungakan uang atau barang.
Untuk lebih jelasnya baca keterangan di bawah ini dari majelis ulama indonesia.
Majelias Ulama Indonesia.
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
MENIMBANG :
a. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
b. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
c. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
a. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
b. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary :
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
d. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
e. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
f. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
g. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
h. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
a. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
b. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
posted by farid wahid
Langganan:
Postingan (Atom)