Senin, 25 Mei 2009

Taqwa Pada Allah

Taqwa pada Allah :Resume Karangan Yunahar Isyas

PENDAHULUAN


Ada beberapa definisi yang menyatakan bahwa akhlak atau khuluk itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dulu, secara tidak memerlukan pemikiran orang lain.
Istilah akhlak dalam bahasa arab yaitu “khalaka” (menciptakan), “makhliqun” (yang diciptakan) dan “khaliqun” yang menciptakan. Dalam kontek bahasa al quran, kata “khalaqa” menunjukan pengertian : menciptakan dari tiada ke ada. Karena itu, “khaliqn” menunjuk kepada zat yang serba kuat, dan sebaliknya, “makhliqun” menunjuk kepada konsep segala sesuatu yang serba lemah (dha’if).
Demikian, muatan istilah “akhlak” pada hakikatnya di sekitar pandangan, sifat, sikap dan tingkah laku yang seharusnya disadari dan dihayati dalam kehidupan nyata sehari hari sesuai dengan kondisi kelemahanya (kedhaifanya). Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak bersedia menyadari dan menghayati muatan “akhlak”, sama artinya dengan orang bersangkutan “mengingkari kondisi kemakhlukanya” yang sebenarnya serba lemah itu. Oleh karena itu pula berakhlaq (dalam ejaan indonesianya “berakhlaq”) bagi manusia sebagai makhluq merupakan sebuah keniscayaan. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlaq” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlak” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Namun sayangnya, istilah ini masih kurang dipopulerkan oleh umat islam sendiri.
Dalam konteks struktur agama islam, dalam arti setelah ajaran islam, “disistematikan”, akhlak merupakan salah stu disiplin ilmu tersendiri. Sementara itu ada yang memasukanya dalam sub disiplin ilmu yang lain. Namun yang pasti, dunia akhlak adalah dunia “penghayatan keberagamaan” dan sekaligus dunia “ ekspresi fungsional” dari penghayatan keberagamaan tersebut. Yang ideal, akhlak sebagi disiplin ilmu dan sebagi wujut kongkrit pengalaman perlu diusahakan berjalan saling mendukung dan memperkokoh.


PEMBAHASAN


A. TAQWA
Definisi taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Lebih lanjut Thabbarah mengatkan bahwa makna asal sari taqwa adalah pemeliharaan diri. Seseorang yang bertaqwa dia akan hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya dia tidak meninggalkannya. Hati-hati menjaga larangan Allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat hidup selamat dunia akhirat.

a. Hakikat Taqwa
Bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut. Dalam Surat al-Baqarah ayat 177 Allah SWT mendefinisikan al-Birru dengan iman (beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan Nabi), Islam (mendirikan shalat dan menunaikan zakat) dan Ihsan (mendermakan harta yang dicintainya, menepati janji dan sabar). Dalam Surat al-Baqarah ayat 3-4 disebutkan empat criteria orang-orang yang bertaqwa, yaitu :

1. Beriman kepada yang ghaib
2. Mendirikan shalat
3. Menafkahkan sebagian rizeki yang diterimanya dari Allah
4. Beriman kepada kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya
5. Beriman kepada hari akhir.

Sementara itu dari Surat Ali Imran ayat 134-135 disebutkan empat cirri-ciri orang yang bertaqwa, yaitu :

1. Dermawan (menafkahkan hartanya baik dalam waktu lapang maupun sempit).
2. Mampu menahan amarah.
3. Pemaaf.
4. Istighfar dan taubat dari segala kesalahan.

Dari beberapa ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hakikat taqwa adalah memadukan secara integral aspek Iman, Islam, dan Ihsan dalam diri seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan Muhsin.

b. Bertaqwa Secara Maksimal
Dalam Surat Ali Imran ayat 120 Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki. Kualitas ketaqwaan seseorang meningkatkan tingkat kemuliaannya di sisi Allah. Semakin maksimal ketaqwaannya semakin mulia dia.

c. Buah Dari Taqwa
Seseorang yang berraqwa kepada Allah SWT akan memetik buahnya baik di dunia maupun akhirat, yaitu :

1. Mendapatkan sifat Furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela. (QS. Al-Anfal : 4)
2. Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi. (al-A’raf : 96)
3. Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan. (at-Talaq : 2)
4. Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga. (at-Talaq : 3)
5. mendapatkan kemudahan dalam urusannya. (at-Talaq : 4)
6. Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar. (al-Anfal : 29)

B. CINTA DAN RIDLA
Cinta adalah kesadaran diri. Perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih saying. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali yaitu kepada Allah SWT karena Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memeliharanya.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Sedangkan cinta kepada ibu ayah, anak-anak, sanak saudara, harta benda dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada di abwah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaannya harus sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti segala yang diajarkan oleh Rasulullah, seperti dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 31. Bila seseorang mencintai Allah SWT tentu dia akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya, meninggalkan sesuatu yang tidak disukai-Nya. Bahkan dalam satu hadis Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan merasakan kemanisan iman tatkala di mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala-galanya.

C. IKHLAS
Secara etimologis, ikhlas berakar dari kata khalasa yang artinya bersih, jernih, murni dan tidak tercampur. Setelah dibentuk menjadi ikhlas berarrti membersihkan atau memurnikan. Sedangkan secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata untuk mendapatkan ridla Allah SWT.

Tiga Unsur Keikhlasan
Ikhlas itu tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi, tetapi ditentukan oleh tiga factor, yaitu :

1. Niat yang ikhlas
Dalam Islam, factor niat sangat penting, apa saja yang dilakukan oleh seseorang haruslah berdasarkan niat mencari ridla Allah, bukan berdasarkan motivasi lain. Factor ini memang sangat menentukan diterima atau tidaknya amalan seseorang di sisi Allah. Betapapun secara lhir amalnya baik, tapi kalau landasan niatnya bukan karena Allah amalannya tidak akan diterima dan merupakan hal yang sia-sia.

2. Beramal dengan sebaik-baiknya
Niat yang lkhlas melekuksn sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan tersebut dengn sebaiknya. Dilakukan dengan etos kerja dan professionalitas yang tinggi, tidak boleh sembarangn, asal jadi, apalagi acak-acakan. Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitannya denga humor atau imabalan materi.

3. Pemanfaatan hasil usaha dengan baik
Unsure Dari keikhlasan ini menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh, yaitu ikhlas atau tidaknya seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya imbalan materi yang didapat, tetepi ditentukan oleh niat, kualitas amal, pemanfaatan hasil.

Keutamaan ikhlas
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepeda-Nya dengn penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharap ridho-Nya, dalam firman-Nya QS.Al-An’am:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta”.

Riya Menghapus Amalan
Lawan dari ikhlas adalah riya. Yaitu melakukan seseatu bukan karena Allah, tetepi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya yang bukan untuk Allah. Secara etimologis riya berakar kata ra-a, yara (melihat), ara-a, yuri-u (memperlihatkan). Sehingga orang dalam niatnya sudah bergeser, bukan lagi mencari keridoan Allah, tetapi mengrarap pujian orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam dan berjuang riya menyebabkan seorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan. Setaminanya tidak kuat dan nafasnya tidak panjang. Dia akan cepat mudur dan patah semangat dan nafsunnya bila tidak ada yang memujinya. Sebaliknya bila menerima pujian dan sanjungan dia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua-duanya jelas akan merugikan dirinya sendiri. Berbeda dengan orang yang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya kuat dan nafasnya panjang, bahkan tidak suka bila mendapat sanjungan dan pujian dari siapapun, takut akan luntur keikhlasanya, dan lebih dari itu ia tergolong orang yang diridhoi Allah SWT.

D. KHAUF DAN RAJA’
khauf dan raja’ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Bila salah satu yang dominant dari yang lainya akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang.dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa, sementara dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai dan lupa diri serta meresa aman dari azab Allah SWT. Yang pertama adalah sikap orang kafir, dan yang kedua adalah sikap orang-orang yang merugi. Yang kedua menyadarkan manusia untuk tidak meneruskan kemaksiatan yang telah dilakukannya dan menjauhkan dari segala macam bentuk kefasikan dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Jika seseorang takut kepada Allah, maka dia akan menjaga matanya dari pandangan yang dilarang, dan memelihara hatinya dari sifat sifat benci, iri, dengki,sombong, riya, takabur dan lain-lain.

1. Raja’
Raja’ atau harap adalah memautkan hari dari sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh sungguh, harapan tanpa usaha namanya angan angan kosong. Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf dari bab takhalliyah (menyongsong hati dari sifat jelek), sedangkan raja’ dari bab mukhalafah (meninggalkan segala pelanggaran), dan tahalliyah mendorong seseorang untuk beramal.

2. Khauf
Khauf adalah kegaulan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukai (faza’ al-qalb min makyuh yanaluh). Dalam islam semua rasa takut bersumber dari rasa takut pada Allah SWT. Hanya Allahlah yang paling berhak untuk ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya.

Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa orang takut pada Allah SWT, yaitu :
 Karena dia mengenal Allah SWT. Takut seperti ini dinamai dengan khaufal-‘Arifin.
 Karena dosa dosa yang dilakukannya, ia takut akan azab Allah SWT.

Sikap khauf dan raja’ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri seseorang muslim. Kalu hanya membayangkan azab Allah seseorang akan putus asa untuk dapat masuk surga, sebaliknya kalau hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar