Jumat, 27 Maret 2009

ketaqwaan dalam hidup

Konsekuensi Takwa

Oleh :Yusuf Burhanudin

''(Yaitu) orang yang menafkahkan (harta), di waktu lapang maupun sempit, orang yang menahan amarah, dan mudah memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang yang suka berbuat baik.'' (QS Ali Imran [3]: 134).

Sekalipun Ramadhan telah berakhir, namun semangat ketakwaan sejatinya terus hidup dalam diri seorang Muslim. Ketakwaan yang menjadi tujuan utama puasa, bukanlah raihan (hibah) semata. Melainkan upaya aktif (kasbah) yang berlangsung secara terus-menerus menuju perilaku hidup mulia pada sebelas bulan berikutnya.

Inilah kenapa kalimat takwa disebut dalam bentuk kata kerja la'allakum tattaqun, karena takwa adalah proses eksternalisasi keimanan yang berlangsung sepanjang hayat.Ketakwaan bukan juga predikat atau gelar, tapi konsekuensi bagi seorang Muslim. Menurut ayat di atas, konsekuensi itu mencakup tiga akhlak mulia.

Pertama, menafkahkan harta di jalan Allah, baik di kala suka maupun duka. Memberi orang lain di saat memiliki kemampuan harta maupun waktu merupakan fakta lumrah. Tapi, menolong sesama di saat pailit, tentu pilihan sulit sehingga tergolong akhlak mulia. Bagi para muttaqin, berinfak adalah pilihan sekaligus tujuan hidup, bukan selingan apalagi sampingan. Bagi mereka, bederma dan mengorbankan harta di jalan Allah merupakan bukti utama keimanan (HR Muslim).

Kedua, mampu menahan amarah. Marah adalah naluri alamiah manusia. Kita tidak dilarang marah namun mesti menempatkannya dengan benar. Rasulullah juga adakalanya marah, namun marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Apalagi kemarahan beliau biasanya muncul bukan karena masalah pribadi melainkan karena ada kehormatan agama Allah yang dilanggar.

Marah yang disebabkan hawa nafsu bisa memancing kita bersikap melampaui batas dalam berbicara, mencela, mencerca, dan menyakiti orang lain. Karenanya Rasulullah berwasiat agar kita tidak mudah terpancing amarah karena marah merupakan gerbang kejelekan yang bisa mewariskan kejahatan turunan seperti dendam, mencaci, menyakiti, menganiaya, hingga tega membunuh saudara sendiri.

Ketiga, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Kita seringkali lebih memilih melestarikan dendam daripada rela memaafkan karena menganggap permaafan sebagai bentuk kekalahan dan menggadaikan harga diri. Padahal, legowo memaafkan kesalahan orang lain, sebesar dan seberat apa pun kesalahan itu, termasuk pengorbanan mulia yang kelak berbuah imbalan besar berupa istana megah di surga (HR Thabrani).

posted by ferry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar